Apa kabar hati? Masihkah iya embun? merunduk tawadu' dipucuk-pucuk daun, masihkah iya karang? berdiri tegar menghadapi gelombng ujian. Apa kabar iman? masihkah iya bintang? terang benderang menerangi kehidupan..

Pilih Perawan atau Janda?



Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.




Berpangkal dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi tersebut, maka orang yang ingin menikah juga berhak membangun obsesi-obsesi halal seputar sisi-sisi yang melekat pada media pernikahan.

Ia berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal, menikmati masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah sah menjadi istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda idaman yang telah sah menjadi suaminya.

Itulah yang diungkapkan oleh Nabi — shallallahu ‘alaihi wa sallam — kepada salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang janda,

 “Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan menggembirakan satu terhadap yang lain. ” (Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441.)

Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya. ” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)



Itu artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai maslahat dan kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang memilih menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang bisa membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada di jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi, bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif pilihan.



Orang juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan penyayang terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan juga kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan.



Nabi bersabda:



تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكََاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ


“Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228)



Ibnu Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang senada yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah, memberikan motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan.”



Di sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak.



Maka, bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak dua misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Begitu pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin menolong janda tersebut. ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah, seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya,

“Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,

“Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”

Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.”

“Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi.

“Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah.

Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi,

“Siapa yang janda?”

“Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.



Riwayat ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila bertujuan meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori “tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama si hamba menolong sesamanya.”

Suatu saat, Nabi — shallallahu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,

“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..”(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)



Demikian ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi janda karena kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari bagian sunnah yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian, kedua pilihan tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa berada di garis anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan siapapun berhak memilih mana yang baginya lebih ia minati.



Riwayat Lain



Suatu ketika, shahabat Jabir bin Abdillah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan. Saat pulang dari perang, beliau tertinggal dari rombongan disebabkan onta beliau yang kelelahan. Nabi pun mendatangi beliau dan bertanya, “Ini Jabir?” Jabir menjawab, “Iya Rasulullah.” “Ada masalah apa Jabir?” Nabi kembali bertanya. Jabir menjawab, “Ontaku lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.”

Kemudian Nabi pun menusuk onta Jabir dengan tongkatnya seraya berkata, “Naiklah!” Jabir pun naik, dan tatkala ontanya melaju kencang, ia pun menahannya agar tak mendahului Rasulullah. “Engkau sudah menikah Jabir?” Tanya Rasulullah. “Iya.” Jawab Jabir. “Perawan ataukah janda?” Rasulullah kembali bertanya. “Janda”. Jawab Jabir kemudian.

Nabi bertanya, “Kenapa tidak menikahi perawan saja? Engkau bisa bermain dengannya dan ia bisa bermain pula denganmu”. Jabir menjawab, “Aku ini memiliki saudari perempuan yang banyak. Aku menikahi janda agar ada wanita yang merawat, mengurusi dan menyisiri rambut mereka”. Nabi pun menasehati, “Adapun jika engkau telah sampai di rumah, maka kumpulilah istrimu, kumpulilah istrimu” (HR. Al-Bukhari no. 2097 dan Muslim no. 1089).



Keutamaan menikahi gadis perawan daripada janda. Karena sifat seorang gadis perawan itu biasanya senang dengan permainan. Berbeda dengan janda yang telah makan asam garam pernikahan. Para fuqaha mengatakan:

الْبكر أولى إِذا لم يكن عذر فِيمَا يظْهر
“perawan lebih utama jika tidak ada udzur yang nampak” (lihat ‘Umdatul Qari, 17/147



Persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang ada dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita, kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar dalam diri kita.



Praktisnya, bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda, jangan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai dengan menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut, apakah segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara halal, melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh dilampiaskan, apakah semua itu dapat dicapai? Kalaupun tak sepenuhnya, minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan cara yang haram! Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan berpoligami secara sehat, apakah istri pertama (wanita janda yang ia nikahi tersebut) rela berbagi?



Bila pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu memenuhi kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah kelebihan si janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk lebih memilih janda tersebut?



Berbagai pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama yang maslahat. Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah tersebut, gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai sebesar-besarnya maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat kita secara keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi masalahnya: Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup berbahagia dan sejahtera?



Pilihan ada di tangan Anda.



Namun janda atau gadis sama saja..yang paling penting akhlak, agamanya..dan sholehahnya. Banyak gadis bertabiat buruk..banyak janda bertabiat baik. banyak janda bertabiat buruk..tapi banyak pula gadis bertabiat baik. Hati hatilah menentukan sikap.





Nasehat Penulis:

Jika kita mendalami sebuah hakikatnya Janda atau pun Perawan Tidak bisa dikatakan sama. Ada pengecualiannya..

Rahasia dibalik perkawinan Nabi Muhammad SAW, niscaya mereka akan mengerti dan memaklumi adanya bahkan akan memuji kepintaran strategi dari Nabi besar Muhammad SAW, yaitu : “political and social motives”.
Perkawinan pertamanya dengan Khadijah dilakukan ketika dia berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama hampir 25 tahuh, Nabi SAW hanya beristrikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal dunia diumur 65 tahun.



Dalam riwayat itu dinyatakan:

وتزوجها رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو بن خمس وعشرين سنة وخديجة يومئذ بنت أربعين سنة ولدت قبل الفيل بخمس عشرة سنة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya (Khadijah) ketika beliau berusia 25 tahun, sementara Khadijah berusia 40 tahun.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 1/132)



Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Usia Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahi Khadijah adalah 25 tahun. Sedangkan usia Khadijah 40 tahun.”
Hanya setelah Nabi SAW berumur lebih dair 50 tahun, barulah nabi SAW mulai menikah lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa jika memang Nabi SAW hanya mencari kesenangan semata, tentulah tidak perlu beliau menunggu sampai berusia lebih dari 50 tahun, baru menikah lagi. Tapi Nabi Muhammad SAW tetap mencintai Khadijah selama 25 tahun, sampai Khadijah meninggal dunia di usia 65 tahun.

Jadi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita terhormat, cantik, wirausaha,  sukses dan kaya raya. Siti Khadijah adalah putri dari Khuwailid bin As’ ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al – Qurasyiyah al – Asadiyah.



Disini penulis ingin menyampaikan pengecualian itu adalah;

– Rasulullah SAW adalah Seorang bujang, cerdas, pekerja, berakhlak baik

– Sedangkan Khadijah adalah janda bukan sembarang janda wanita yang terhormat, kaya dan sukses



NILAI BARTER (SISI TANYA JAWAB)

Ketika seorang laki-laki yang masih bujang (belum pernah menikah) dan ketika  ingin menikahi janda tentunya haruslah ada nilai barter diantaranya sang bujang barter dengan Janda yang kaya. Si janda dapat bujang dan yang sang bujang dapat kekayaan janda.



Tetapi kalau sang bujang ingin menikahi gadis maka barter tidak harus ada



Bagaimana kalau terbalik?

Sang Janda tidak kaya tapi cantik, Namun Sang bujang yang sukses dan kaya ?

Jika demikian, maka si Janda haruslah belajar nenjadi sosok wanita soleha, mendengarkan serta setia. Menjaga diri dan tidak membuka hati kepada orang lain. Memahami dan pengertian. Karena biar bagaimana pun haruslah ada nila barter. Bukan berarti itu dikatakan CINTA MATERI, Kita hidup dijaman modern bukan dimasa Jahiliya. Menikah dengan istilah “Kupinang engkau dengan Bismillah” Itu hanya asumsi luarnya saja. untuk dalamnya adalah penyambung kehidupan yaitu materi.



Cinta dimasa dulu “Dari Mata turun ke hati” Namun cinta masa sekarang “Dari mata naik kepikiran” Artinya, Laki-laki atau pun perempuan berpikir, Apa yang kamu miliki dan apa yang kamu punya. Karena kita lagi hidup di dunia. Dan dunialah harus penyambung untuk akhirat dengan bekal amal dan pahala nantinya.



Bukan cuma soal iman. sebagus-bagusnya iman kalau tidak punya materi juga binasa dan melarat. Kita bukanlah NABI yang sudah diberikan JAMINAN. Nabi Miskin karena sudah ada JAMINAN dari ALLAH. Jadi  untuk apa Muhammad mengejar dunia? Logis kan.



Kita sebagaimana manusia yang tidak ada jaminan dari Tuhan tetaplah harus optimis dan tidak boleh berhenti untuk mengejar dunia dan akhirat. Mengumpulkan pahala dan amal kebaikan. KARENA YANG MENJADI PERHITUNGAN NANTI PAHALA DAN AMAL  Untuk mencapai kejayaan dan Surganya. Dan itu dibutuhkan materi. Asal jangan materi membuatmu lupa daratan dan membuatmu matrealistis dunia. Itu yang SALAH.

Kembali, kepada soal Bujang dan janda, adalah suatu keharusan adanya nilai barter. Dengan tujuan yang baik dan lebih baik. Untuk itu jika mau mendapatkan sesuatu haruslah berjuang. Kamu tidak punya materi, cari sisi lainnya yang bisa dijadikan nilai barter diantaranya… SAYA SOLEHA, CANTIK, CERDAS, PENGERTIAN, MEMBANTU, MENOLONG, MENDOAKAN, DAN MASIH BANYAK LAGI. Kalau si laki-laki  Duda Kaya mendapatkan janda miskin tidak masalah. Karena sudah barter.

Mungkin Gambarannya seperti ini dari sebuah nilai barter



A : “Calon Istri kamu Perawan atau Janda?”

B : “Janda”?

A. : “Kaya Gak”?

B : “Cuma Cantik”?

A. : “Cantik itu realatif, relatifnya ketika kamu sudah menikah maka kecantikannya pun tidak semanrik dari awal pertemuan kamu”?

B : “Iya juga sih, terus bagaimana?”

A: “Harus dia “Berada” selain ia cantik, Juga Shaliha dan terhormat, bisa menjaga diri dari berbagai macam godaan laki2. Karena kamu bujang, tampan, cerdas, materi punya, jadi tidak seimbang dong, benar gak?”

B : “Bener juga, kata kamu. .”

A : “Apa kata orang nantinya ketika kamu menikah dengannya. Orang2 akan bertanya seperti ini; Calon istri dia masih perawan atau janda? Terus ada yang berkata, “Oh dia janda? Terus ada yang bertanya lagi, “Kaya” gak? Ada orang yang jawab.. “Iya dia Kaya” “Pantes, Kaya sih… Jadi masih ada kebanggan juga kan, benar gak?”



B. “Iya, juga sih..Bener banget kata kamu”



A : “Coba evaluasi dan renungkan kembali, pernikahan itu bukan soal cinta saja, bukan soal ketaqwaan semata saja, tapi keberlangsungan hidup yang di dalamnya harus ada materi”






Semoga tulisan ini dapat memahami bagi pembaca. Jika ada yang keberatan dan mau berkomentar silakan namun dengan cara yang baik dan santun.

1 komentar:

  1. Nonton/Streaming Nonton Bokep Hemat Kuota cuma di SMBOKEP

    Klik:

    www.SMBokep.info <= Bokep Terbaik

    Streaming Indo Hot <= Bokep Indo

    Nonton Bokep JAV HD <= Bokep Jepang

    Korea XXX <= Bokep Korea



    Thai Hot Porn <= Bokep Thailand

    Gudang Bokep India <= Bokep India

    Kumpulan Jilboobs <= Bokep Jilbab

    Bokep INCEST <= Bokep Mamah Muda



    Bookmark link diatas ya! -------

    BalasHapus

Berikan TANGGAPAN Anda Tentang INFO ini untuk Memberikan INSPIRASI dan MOTIVASI Pembaca Lain. Tinggalkan KOMENTAR Anda DISINI