Kedudukan seseorang terhadap ilmu sangat ditentukan oleh
seberapa besar pengagungan dan pemuliaan hatinya terhadap ilmu. Seseorang yang
hatinya penuh dengan penghormatan terhadap ilmu maka ia pantas menjadi tempat
bagi ilmu. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak memuliakan ilmu, niscaya ilmu
tidak akan dapat membuatnya mulia.
Di antara bentuk mengagungkan ilmu adalah dengan cara
membersihkan hati dan niat dalam mencari, mengamalkan, dan mengajarkannya.
1. Membersihkan hati sebagai wadah ilmu
Hati merupakan wadah ilmu. Semakin bersih hati seseorang,
maka akan semakin mudah baginya untuk menerima ilmu. Barangsiapa yang ingin
memperoleh ilmu, hendaklah ia memperbagus batinnya dan membersihkan hatinya
dari berbagai penyakit hati. Karena ilmu itu ibarat permata yang lembut, yang
tidak pantas dimiliki kecuali oleh hati yang bersih.
Bersihnya hati itu kembali kepada dua hal pokok, yaitu:
1. Bersih dari
kotoran syubhat
2. Bersih dari
kotoran syahwat
Seandainya kita malu untuk dilihat oleh orang lain jika
pakaian kita kotor, maka seharusnya kita lebih malu lagi kepada Allah, Dzat
Yang Maha Melihat dan Mengetahui apa yang ada di dalam hati kita. Adakah di
antara kita yang bisa menjamin bahwa hatinya bersih? Bebas dari berbagai kotoran
dan penyakit hati? Bersih dari sifat iri, dendam, dosa, dan kesalahan? Apakah
kita tidak pernah merasa malu dilihat oleh Allah dalam keadaan hati kita penuh
dengan berbagai kotoran?
Padahal, di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunggungnya
Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat
kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Barangsiapa yang membersihkan hatinya, niscaya hati tersebut
akan menjadi tempat bagi ilmu untuk bersemayam. Dan barangsiapa yang tidak
menghilangkan kotoran dari hatinya, niscaya ilmu akan pergi meninggalkannya dan
menjauhinya.
Sahal bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Cahaya tidak akan
masuk ke dalam hati yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci oleh Allah
‘Azza wa Jalla”
2. Mengikhlaskan niat
Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus..” (QS. Al Bayyinah : 5)
Dari ‘Umar radiyaLlahu ‘anhu, bahwa RasuluLlah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang
mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah lewat generasi terdahulu (salaf) yang shalih, dan
tidaklah mereka mencapai berbagai kejayaan kecuali dengan mengikhlaskan segala
amalnya untuk Allah Rabb semesta alam. Dahulu, seseorang pernah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hanbal tentang sifat jujur dan ikhlas, maka beliau menjawab,
“Dengan hal tersebut niscaya akan terangkatlah derajat suatu kaum.”
Seseorang akan memperoleh ilmu sesuai dengan kadar
keikhlasannya.
Ikhlas dalam mencari dan mengajarkan ilmu itu dibangun di
atas empat landasan, yaitu berniat untuk :
1. Menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, dengan
mengenali apa-apa yang diwajibkan atasnya baik dalam hal ibadah, perintah,
larangan, dan sebagainya.
2. Menghilangkan kebodohan dari orang lain, dengan cara
mengajari dan menunjuki mereka kepada ilmu yang akan membawa kebaikan bagi
dunia dan akhirat mereka.
3. Menghidupkan ilmu dan menjaganya sehingga tidak hilang
ditelan waktu.
4. Mengamalkan ilmu.
Para salaf rahimahumullah dahulu begitu khawatir akan
ketiadaan ikhlas dalam hati mereka dalam menuntut ilmu. Imam Ahmad pernah
ditanya, “Apakah engkau mencari ilmu karena Allah?”. Beliau menjawab, “Demi
Allah! Itu sangat berat! Akan tetapi, hal itu adalah sesuatu yang sangat
kuharapkan ada pada diriku, maka aku berusaha mencarinya.”
Maka, sudah seharusnya lah bagi mereka yang menginginkan
keselamatan untuk mencari hal yang pokok ini, yaitu ikhlas, dalam setiap
perkara yang mereka kerjakan. Demikian pula hendaknya untuk senantiasa
memperbaiki niat. Sebab, hal tersebut merupakan perkara yang berat.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah
memperbaiki sesuatu yang lebih berat dari niatku, karena ia senantiasa
berubah-ubah.”
Bahkan Sulaiman Al Hasyimi rahimahullah berkata, “Terkadang
aku menyampaikan satu hadits dan aku memiliki niat (yang ikhlas), namun ketika
aku sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niatku. Ternyata satu hadits
saja perlu banyak niat.”
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua agar dapat
membersihkan hati dari segala kotoran, serta mengikhlaskan niat untuk Allah.
Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan TANGGAPAN Anda Tentang INFO ini untuk Memberikan INSPIRASI dan MOTIVASI Pembaca Lain. Tinggalkan KOMENTAR Anda DISINI